Newest Post
Archive for Desember 2020
Beda Alam
Satrio Gustiwisnumurti
Suara
alarm berbunyi dengan semangatnya. Membangunkan kelima indra yang perlahan
mengaktifkan dirinya. Udara dingin dari hembusan kipas angin mulai terasa.
Samar hingga jelas suara alarm terdengar. Lembutnya selimut mulai terasa di
permukaan kulit. Mata mulai membuka perlahan.
HOAAAAMMM!!!!
Aku
bangun dari tidurku. Pukul 5 pagi, seperti biasa. Menggeliat, seperti biasa.
Kurapikan tempat tidur, seperti biasa. Mandi, seperti biasa. Makan di dapur
bersama ibu, seperti biasa. Bersiap berangkat kerja, seperti biasa, dan lajang
seperti biasa.
Namaku
Tejo, pekerja kantoran berusia 27 tahun dengan gaji 7 juta rupiah perbulan yang
masih lajang. Aku tinggal berdua
bersama ibuku sejak ayahku meninggal 15 tahun yang lalu. Ibuku adalah sosok
yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Ibu tidak mau menikah lagi. Ibu
bilang dia tidak butuh suami baru, cintanya hanya milik ayah semata. Tak
terbayang bagaimana ibuku bekerja sendirian menghidupiku sejak aku berumur 12
tahun. Ibuku adalah seorang buruh di salah satu pabrik rokok di kotaku. Yah,
meskipun itu sudah 5 tahun yang lalu. Aku menyuruhnya untuk pensiun karena aku
telah memperoleh pekerjaan dengan bayaran yang cukup untuk menghidupi kami
berdua. Setidaknya aku ingin ibuku yang telah bekerja keras seorang diri selama
10 tahun lamanya, dapat menikmati masa tua dengan nyaman.
Aku
adalah pria yang good looking, punya
pekerjaan, dan pintar. Aku rasa aku adalah calon suami idaman semua wanita.
Bahkan dengan banyaknya anugerah yang tuhan berikan, aku masih lajang!?
Arrgghhhhhh!!!!
Aku
memiliki ketampanan, uang, dan kepintaran yang mana adalah modal penting bagi
seorang pria. Tapi satu hal paling penting yang tidak aku miliki adalah
pengalaman dalam percintaan. Selama ini aku tidak pernah memikirkan pasangan
hidupku kelak. Yang kupikirkan hanyalah kerja, kerja, kerja untuk menghidupi
diriku dan ibu. Sekarang, hidup kami bisa dibilang sudah terjamin. Sampai
sekarang pun aku masih belum memiliki keinginan untuk menikah.
Pulang
dari kantor hari ini aku membawakan nasi gudeg kesukaan ibu. Aku melihat ibu
sedang berbincang dengan tetangga kami, ibu Ani di depan teras rumah sambil
menikmati secangkir teh. Ya, seperti hari yang lain. Namun ada sedikit
perbedaan pada ibu hari ini. Wajahnya yang biasanya selalu riang saat
mengobrol, kini sedikit kecut dan menatapku tajam saat aku tiba di depan rumah.
“Wah nak
Tejo sudah pulang. Sudah sore ya, kalo begitu ibu pamit pulang dulu, sebentar
lagi anak ibu akan datang bersama dengan cucu ibu. Mari nak Tejo, selamat sore.”
ucap bu Ani dengan wajah bahagia.
Aku
mulai mengerti alasan ibu menatapku dengan tajam.
“Sore
bu, Tejo pulang. Sudah lama bu Ani di sini?” tanyaku dengan sedikit takut.
Ibu
mengerutkan keningnya, ia seperti akan membunuhku saja.
“Ya,
sudah sejak tadi ia di sini.” jawabnya dengan singkat.
Aku pun
menanyakan alasan akan tatapan tajam ibu, yah walau aku tau hal apa yang
menyebabkan ibu memberikan ekspresi dan tatapan itu padaku.
“Ada apa
bu? Mengapa ibu terlihat kesal? Ibu sudah makan? Ini Tejo bawakan-“
“Kapan
kamu akan menikah?” basa-basi ku langsung dipotong oleh ibu
Benar
saja, langsung dihujam dengan pertanyaan itu lagi? Ya, memang sudah biasa ibu
menanyakan hal itu padaku? Tapi entah mengapa ada yang sedikit berbeda dengan
caranya menyampaikan pertanyaan tersebut hari ini.
“Eee….
Nanti pasti aku akan menikah kok bu. Ibu tenang saja”
“Selalu
saja kamu berkata begitu, entah berapa kali kata itu terucap dari lidahmu,
namun tak kunjung juga kamu membawakan ibu calon menantu nak. Mau sampai kapan
kau membuat ibu menunggu untuk melihat anak semata wayangnya menikah? Ibu juga
selalu kesepian di rumah saat kau tinggal bekerja. Paling tidak berilah ibu
seorang cucu yang bisa menemani ibu saat kau sedang tidak di rumah.” Kata ibu
dengan sedikit menaikkan nada suaranya.
“Iya bu,
secepatnya Tejo akan membawakan ibu calon menantu dan seorang cucu. Lagi pula
tidak mudah bagi pria yang tidak memiliki pengalaman percintaan seperti aku
untuk menjalin hubungan bu” Jawabku dengan sedikit ragu.
“Pokoknya
ibu tidak mau tau! Secepatnya kamu harus membawakan ibu seorang calon menantu!
Kamu harus! Bagaimana pun caranya. Jika perlu pergi ke dukun sekalian!” jawab
ibu dengan amat kesal, kemudian langsung masuk ke dalam rumah, meninggalkanku
terdiam di teras sendirian.
Aku
tidak pernah melihat ibu semarah itu sebelumnya. Apakah salah jika aku masih
belum memiliki pasangan? Semasa hidupku, aku tidak pernah berpikir untuk
menjalin suatu hubungan sebelumnya. Masa sekolahku kugunakan sepenuhnya untuk Surtijar,
Surtijar dan Surtijar. Ambisiku untuk sukses benar-benar menutupi keinginan
untuk memiliki seorang pasangan. Aku hanya fokus untuk membahagiakan ibuku
kelak dengan menjadi orang yang sukses. Maksudku, aku belum pernah menyukai
seseorang sebelumnya. Aku jadi tidak tau bagaimana caranya memulai suatu
hubungan. Nilaiku nol besar pada bidang ini.
Aku
terus memikirkannya semalaman. Jadwal tidurku tak lagi sesuai. Aku terus
bertanya-tanya pada diriku, ‘apakah aku benar-benar harus pergi ke dukun?’. Ya,
aku memang lebih suka untuk memilih jalan yang lebih mudah jika memang jalan
itu ada. Tapi keraguanku selalu muncul di akhir pilihanku. Membuatku
memikirkannya sekali lagi. Tepat pada jam 3 pagi, aku membulatkan pilihanku
untuk pergi ke dukun saat bangun nanti. Karena besok adalah hari libur, rasanya
tak apa untuk bangun sedikit lebih siang.
Keesokan
harinya, aku langsung bergegas menuju tempat seorang dukun di desa seSurtih,
mbah Mijan. Bukan sekali atau dua kali sudah ada orang yang menyuruhku pergi ke
dukun untuk mengatasi permasalahan asmara ini. Beberapa rekan kerjaku
sebelumnya pernah menyarankan hal ini, jadi aku tahu beberapa tempat dukun yang
cukup terkenal.
***
Sesampainya
di sana, aku disambut dengan bau kemenyan dan seorang asisten dukun yang
mengarahkanku untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan yang cukup gelap,
dengan hiasan keris, jarum dan benda-benda aneh lainnya yang terpampang di
dinding ruangan itu. Terlihat seorang pria paruh baya berjenggot putih panjang
mengenakan pakaian serba hitam dan sedang duduk di atas sebuah bantal.
“Duduk!”
ucap mbah mijan sambil menunjuk bantal yang ada di depannya.
Aku pun
mengikuti instruksi dari mbah mijan. Jujur saja, aku merasa sedikit takut
dan terintimidasi dengan suasana, bau
kemenyan, serta benda-benda mistis yang memenuhi seisi ruangan.
“Jadi
ada urusan apa kamu datang kemari?” tanya mbah Mijan.
“jadi
begini mbah, saya-“
“Cukup!
Saya sudah tau. Pasti masalah asmara kan?” potong mbah Mijan.
“Eemmm
benar mbah, bagaimana mbah bisa tau?” tanya ku dengan berlagak bingung,
walaupun sebenarnya sedikit kesal.
“Tentu
saja, saya kan dukun. hohoho.” Jawab mbah Mijan sambil tertawa kecil.
Aku pun
ikuti tertawa kecil dengan sedikit menarik bibirku ke samping.
“Hehe,
iya juga mbah. Jadi bagaimana mbah?”
“Ini
saya memiliki benda yang dapat menolongmu. Sebentar, dimana saya menaruhnya?”
ucap mbah Mijan sambil mencari-cari sesuatu.
“Nah ini
dia.” ucap mbah Mijan sambil menyodorkan sebuah batu kepadaku.
“Ini
adalah sebuah batu.” Kata mbah Mijan.
“Iya,
saya juga tahu ini adalah batu mbah. Tapi batu apa ini?” tanyaku dengan sedikit
kesal.
“Di
dalam batu ini ada jin yang dapat membantu kamu menemukan pasangan hidupmu,
hohoho” jelas mbah Mijan.
“Tapi
bagaimana caranya mbah?”
“Saat
sampai di rumah nanti, kamu hanya perlu menggosok batu ini sebanyak tiga kali.
Selanjutnya, kamu akan mengerti dengan sendirinya.” ucap mbah Mijan dengan
wajah yang meyakinkan.
“Baik
mbah, terima kasih banyak atas bantuannya.” aku hendak berdiri namun
dihentikan.
“Heh!”
“Kenapa
mbah?” tanyaku sedikit kesal.
“Bayarannya!”
“Hehe,
maaf saya lupa mbah.”
Ku ambil
dompet di saku celanaku, kemudian mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah
dan meletakkannya di atas nampan yang ada di depanku.
“Ini
mbah bayaranny-“
“Heeeeh!”
“Kenapa
lagi mbah?” tanyaku kesal.
“Kurang.”
Ucap mbah Mijan dengan santainya
Aku
tersenyum sinis sesaat. Mengambil selembar uang berwana merah dari dompet
sekali lagi, meletakkannya di atas nampan, kemudian bergegas pergi.
“Heyyyy!!!”
“Ada apa
lagi sih mbah?” tanyaku benar-benar kesal.
“Kelebih-“
“Sudah
untuk mbah saja kembaliannya, saya pergi dulu.”
“Baiklah,
terima kasih. Hati-hati di jalan. Hohoho” jawab mbah Mijan dengan senyum yang
bersinar di wajahnya.
***
Sesampainya
di rumah, aku langsung menggosok batu itu sebanyak tiga kali. Aku juga tidak
berharap lebih dengan apa yang akan terjadi. Bukan sulap bukan sihir,
*wuuussshh muncul asap tebal di sekitarku.
“Selamat
sore tuan, ada yang bisa saya bantu?” ucap seorang gadis cantik yang berpakaian seperti putri Yasmin dalam
cerita dongeng Aladin. Bedanya, yang satu ini jauh lebih cantik dari putri
Yasmin. Benar-benar kejadian yang tidak pernah ku alami, bahkan tak sedikitpun
terpikiran olehku hal ini terjadi. Aku terdiam, kaget, dan tiba-tiba pingsan.
“Tuan?
Ada tidak apa-apa?”
Suara
itu membangunkanku.
“Syukurlah
tuan baik-baik saja. Tapi-“
“Diam!
Biarkan aku berpikir sejenak.” ucapku sambil mencoba menenangkan diri.
Entah
berapa kali aku menarik nafas dengan dalam dan mencoba mengatur otakku untuk
menganggap hal yang baru saja terjadi adalah hal biasa.
“Baiklah,
perkenalkan namaku Tejo. Aku butuh bantuanmu.” ucapku dengan tenang.
“Aku
adalah jin yang tuan panggil. Tuan bisa memanggilku apa saja. Jadi bantuan apa
yang tuan butuhkan?” tanya jin itu.
“Baiklah,
kau akan kupanggil jin saja. Aku ingin kamu membantuku untuk mendapatkan
pasangan!” jawabku.
“Waaahhh
masalah asmara ya, tenang saja tuan. Kalo soal asmara, itu adalah keahlian
saya. Tuan pasti akan segera mendapatkan pasangan tuan.” jawab Jin dengan heboh
dan raut wajah bangga.
Entah
mengapa dia begitu semangat untuk membantuku dalam hal ini. Setelah itu, ia
menanyakan alasanku ingin mencari pasangan. Aku pun menceritakan kisahku
padanya. Cukup aneh, sebelumnya aku tidak pernah berbicara santai seperti ini
pada seorang wanita. Mungkin karena dia bukan wanita, ya dia kan Jin. Cukup
lama aku bercerita, tak terasa sudah malam.
“Ya
begitulah, aku juga sebenarnya terpaksa melakukan ini.” ucapku.
“Tapi
apa sebelumnya tuan sudah menentukan target dari pasangan tuan?” tanya Jin.
“Tidak,
belum. Nih!” ucapku sambil melemparkan telepon genggamku padanya.
“Kamu
bisa memakai telepon kan? Kamu cari saja di sana! Pilihlah sesukamu. Aku mau
tidur dulu. Kita lanjutkan besok.” Ucapku santai, kemudian beranjak dari ruang
tamu menuju kamar.
“Baik
tuan, tuan tenang saja. Saya pastikan besok kita sudah bisa memulai untuk
mendapatkan pasangan untuk tuan. Selamat istirahat tuan.” Jawab Jin.
Keesokan
harinya, aku bersiap pergi kerja seperti biasa. Setelah makan, aku mengusap
batu jin lagi untuk bertemu dengan Jin. *wuuuussshhhh Jin langsung muncul.
“Bagaimana?
Apa kamu sudah menemukan target yang pas untukku?” tanyaku padanya.
“Sudah
tuan, dia adalah teman sekantor tuan. Namanya adalah Surti.” jawabnya.
“Ahh Surti,
dia anggota timku. Hmmm tidak buruk. Kalo begitu aku berangkat kerja dulu.”
ucapku.
Aku
bergerak menuju pintu, Jin mengikuti.
“Hei!
Kau mau kemana?” tanyaku bingung.
“Tentu
saja menemani tuan.” jawabnya bingung.
Kelihatannya
dia tidak mengerti dengan apa yang ku maksud. Maksudku, bagaimana jika
orang-orang melihat seorang wanita berpakaian bak tokoh di negeri dongeng di
jalanan? Belum sempat kuutarakan, nampaknya dia sudah bisa membaca pikiranku.
“Ahh,
jika tuan takut saya terlihat oleh orang lain, tuan tidak perlu khawatir. Hanya
tuan saja yang dapat melihat wujud saya. Lagi pula, bagaimana saya bisa
mengarahkan tuan untuk mendekati Surti jika saya tidak bersama tuan?”
tambahnya.
“Jadi
seperti itu, benar juga.” jawabku.
“Tejo!
Apa ada orang lain di sana? Dengan siapa kau berbicara?” teriak ibu dari dapur.
“Tidak
ada bu, aku hanya berbicara sendiri.” teriakku agar ibu bisa mendengarnya.
“Baiklah
jika begitu. Ayo berangkat!” ucapku dengan pelan sambil membuka pintu.
***
Sesampainya
di kantor, Jin langsung mengarahkanku untuk mendekati Surti. Mulai dari
menyapa, mencari topik obrolan, mengajak makan siang, memberi bantuan kecil,
hingga hal-hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Cara Jin mengarahkanku
sangat efektif. Aku dapat dengan mudah melakukannya tanpa membuat kesalahan.
Arahannya begitu jelas seperti dia benar-benar berpengalaman dengan hal semacam
ini. Hari-hari ku di kantor mulai berubah sejak saat itu. Hari yang biasanya
monoton, mulai timbul naik turun di dalamnya.
Sepulang
dari kantor, kami selalu mendiskusikan rencana selanjutnya untuk mendapatkan
hati Surti. Entah mengapa aku dapat akrab dengan Jin begitu cepat. Tak jarang
pula aku membahas hal-hal di luar rencana. Aku benar-benar dapat mengungkapkan
segalanya pada Jin. Mulai dari hal-hal yang selalu aku pendam, hingga hal-hal
kecil yang sebenarnya tak begitu penting. Bisa dibilang, Jin sudah menjadi
tempatku berkeluh kesah.
Beberapa
minggu kemudian, hasil dari kerja keras kami terbayarkan. Aku mencoba untuk
menyatakan perasaanku kepada Surti secara langsung. Alhasil, ia menerima
perasaanku dan mulai menjalin hubungan denganku. Namun, sejak saat itu Jin
mulai jarang bersuara. Seakan ia membuat batas denganku. Tapi aku tak ambil
pusing, aku tetap menjalani hari-hariku bersama Surti. Hingga suatu malam, Jin
bertingkah aneh.
“Tuan,
apakah tuan benar-benar nyaman dengan Surti?” tanya Jin.
“Ya,
tentu saja. Ini kan memang tujuanku dari awal.” jawabku.
“Apa tuan
tidak bisa akhiri saja tuan dengannya?” tanya Jin.
Mendengarnya,
aku naik pitam. Benar saja, aku sudah mencapai tujuanku. Tetapi dia malah ingin
aku membuangnya begitu saja. Bukan hal yang mudah untuk samapi di sini. Ya
walaupun ini juga dengan bantuannya. Tapi ini adalah tujuan ku dari awal.
“Maksud
kamu apa!? Kamu ini bagaimana!? Ini tujuan kita dari awal. Ya kan? Untuk
membuatku mendapatkan pasangan. Dan itu sudah terwujud. Lantas mengapa kamu
ingin aku menghancurkan usaha kita begitu saja?” jawabku dengan marah yang luar
biasa.
“Bukan
begitu tuan, maksud saya… entah mengapa saya tidak suka dengan hal ini.”
jelasnya sambil menitihkan air mata.
“Jika
kamu tidak suka, lebih baik kamu pergi saja dari sini!” bentakku.
Kemudian,
aku meninggalkannya di ruang tamu dan pergi ke kamar. Jin diam saja, terpaku
berdiri di sana. Aku tidak peduli, ku ambil selimut dan segera menuju ke pulau
kapuk.
Keesokan
harinya, aku membuat secangkir kopi di pagi hari. Ibuku sedang tidak ada di
rumah. Ia pergi ke rumah nenek karena suatu hal. Kira-kira sudah hampir
seminggu lamanya. Aku tidak bisa ikut karena harus pergi kerja. Hari libur ini
bisa dibilang rumah cukup sepi tanpa adanya ibu. Aku rasa semalam aku terlalu
keras pada jin. Aku harus minta maaf padanya. Aku terlalu terbawa emosi.
“Jin?
Jin?” panggilku.
Tak
seperti biasanya, ia tidak langsung datang setelah kupanggil. Ah mungkin aku
perlu menggosok batu jin lagi. Aku mengambil batu itu di dalam laci lemariku.
Kemudian menggosoknya sebanyak tiga kali. Tetapi, tidak terjadi apa-apa. Asap
tidak lagi muncul dari batu itu. Entah berapa kali aku mencoba menggosok batu
itu, tetapi tak ada yang berubah.
Mengapa
aku jadi gelisah? Toh aku sudah mendapatkan pasangan yang aku perlukan. Jadi
seharusnya tidak ada Jin ya tidak ada salahnya juga. Tujuan sudah tercapai.
Tugasnya mungkin sudah selesai. Namun setidaknya pamit dulu lah jika akan
pergi. Jangan membuatku kepikiran. Rasanya ada hal yang tak biasa. Aku
merasakan perbedaan dengan tak adanya Jin di sini. Teman mengobrolku, teman
berkeluh kesahku, teman bermainku. Ahhh aku jadi gila dibuatnya. Belum sampai
setengah hari, aku jadi benar-benar gelisah. Ada yang kurang tanpa Jin di sini.
Kepalaku tertekan. Apa yang terjadi padaku?
Terbesit
suatu jalan keluar di benakku. Ya, orang yang mengerti dengan hal seperti ini
mungkin mbah Mijan. Aku harus segera pergi padanya dan menanyakan tentang hal
ini. Aku tidak mau menunggu terlalu lama. Sakit kepala ini membunuhku dengan
perlahan. Tanpa menunggu lama, aku langsung menyiapkan kendaraan dan bergegas pergi
ke tempat mbah Mijan.
Sesampainya
di sana, aku langsung menuju ruangan mbah Mijan.
“Mbah,
sepertinya batu yang dulu mbah berikan rusak. Apa mbah bisa memperbaikinya?”
tanyaku sambil menyodorkan batu.
Mbah
Mijan membolak-balikkan batu itu. Mencari-cari letak kerusakan yang aku katakan
sebelumnya. Hingga akhirnya mbah Mijan berhenti dan mengambil nafas
dalam-dalam.
“Jadi
kamu mengusir jin yang tinggal di batu ini?”
tanya mbah Mijan dengan nada kecewa.
“Eee…
saat itu saya sedang emosi mbah, jadi tidak sengaja mengusirnya. T-tapi saya
tidak ada niat untuk-“
“Tetap
saja. Kamu mengusirnya.” potong mbah Mijan.
“Saya
tahu saya salah mbah. Tolong kembalikan jin itu lagi mbah. Saya mohon.” pintaku
dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf,
yang satu ini saya tidak bisa bantu. Jika seorang majikan sudah mengusir
jinnya, jin itu akan benar-benar kehilangan kontak dengan majikannya. Bahkan
mungkin kamu sudah tidak ada lagi dalam penglihatannya.” tegas mbah Mijan.
“Saya
mohon tolong saya mbah. Untuk biayanya tidak jadi masalah mbah. Mbah mau
berapa? Satu juta? Dua juta? Sepuluh juta? Berapapun akan saya bayar mbah.
Tolong mbah.” Pintaku putus asa.
“Dasar
bocah tak tahu diri. Kamu pikir segala sesuatu bisa dibeli dengan uang? Ini
semua kesalahan kamu sendiri. Sekarang kamu pergi dari sini! Saya tidak ingin
melihat muka kamu lagi.” bentak mbah Mijan padaku sambil menunjuk pintu keluar.
***
Sepulangnya
dari tempat mbah Mijan, aku merasa tak berdaya. Tak memiliki keinginan untuk
hidup. Pikiranku kacau, hanya ada Jin di dalamnya. Aku stres. Dua hari aku tak
pulang ke rumah. Dua hari aku tak bekerja. Aku tidur di jalanan, minum minuman
keras, membuat masalah dengan orang sekitar, dan masih banyak lagi.
Suatu
waktu, aku berjalan di taman dekat kantorku. Aku melihat sekumpulan anak muda
sedang bermain. Entah mengapa, aku yang mabuk langsung menyerang mereka.
Pukulan demi pukulan mendarat di wajah dan badanku. Aku tak berdaya dikeroyok 3
orang laki-laki. Setelahnya, aku ditinggal dengan keadaan lemas dan terkapar di
taman. Memar dan luka lain terpatri di tubuhku. Hingga datang seorang wanita
yang kukenal akhir-akhir ini. Ia menghampiriku dengan cepat dan mengambil sapu
tangan di tas tangannya, kemudian mengusap darah yang mengalir dari lukaku.
“Ya
ampun Tejo! Kamu kenapa?” ucapnya.
Ia
adalah Surti, kekasihku. Surti terlihat benar-benar khawatir. Kebetulan sekali
bertemu dengannya dengan keadaanku yang
mengenaskan seperti ini. Jujur aku senang dapat bertemu dengannya.
“Sudah
tiga hari kamu tidak ada kabar. Aku sungguh khawatir. Apa yang terjadi padamu?
Dari mana luka-luka ini berasal? Ada apa?” beragam pertanyaan mendarat padaku.
Aku
senang dengan banyaknya pertanyaan yang ia lontarkan. Ingin kujawab, namun di
satu sisi aku takut Surti akan murka jika mendengarnya. Aku terus mencoba
meyakinkan diriku untuk lebih membuka diri pada surti. Berharap ia dapat
mengerti keadaanku. Kemudian, aku mulai menceritakan kisahku padanya. Tentang
aku yang depresi ketika ditinggalkan oleh makhluk yang bukan manusia. Dia pasti
akan menertawakanku atau bahkan jijik padaku. Namun, ternyata tidak begitu.
“Sudah,
tidak apa Tejo. Tetapi kamu seharusnya tidak melibatkan perasaan pada sesuatu
yang bukan berasal dari alam kita. Lagian kamu tidak harus menanggung semua itu
sendiri. Kan ada aku, kamu bisa membagi bebanmu denganku. Bukan dengan cara
brutal seperti ini…”
Omelannya
terus berlanjut dengan samar. Ku tatap wajahnya, berpikir bagaimana bisa Surti
yang ada di depan mataku terkalahkan oleh sosok Jin sebelumnya. Aku pasti gila
berpikir bahwa aku bisa menjalin hubungan dengan makhluk gaib. Entah sudah
berapa menit ia menceramahiku. Namun aku tidak merasa kesal sama sekali. Justru
aku senang jika diceramahi seperti ini. Hal yang belum pernah terjadi di
hidupku. Cara bagaimana ia menunjukkan kekhawatiran dan kepeduliannya
terhadapaku, oh tuhan, sungguh aku telah menyia-nyiakan karuniamu yang begitu
indah.
Suara
Surti mulai terdengar kembali.
“…lagian
mengapa harus dengan cara seperti ini? Dasar, aku benar-benar tidak mengerti
jalan pikiran laki-laki. Ya sudah kita kembali ke rumahku saja dulu. Kita obati
lukamu di sana. Ayo….hey! ayo! Tejo! Kamu dengar tidak? Kok melamun sih. Ada apa?”
Aku
langsung terfokus kembali pada omongan Surti. Sambil menatap matanya, aku
berkata.
“Eee…
tidak apa. Hanya saja, aku sangat bersyukur pada tuhan. Kini aku telah
menemukan orang yang tepat untuk menjadi teman hidupku.”
TAMAT
Hantu
Kuda Jembata Randumerak
Satrio Gustiwisnumurti
Namaku
Inuk, aku ingin sedikit berbagi cerita yang menurutku cukup menyeramkan. Malam
itu aku baru saja selesai shooting
untuk lomba film pendek di SMA ku bersama
4 orang temanku, Sisil, Susi, Mirza, dan Ucup. Kami melakukan pengambilan
gambar di rumah Sisil sepulang sekolah. Pengambilan gambar selesai jam 9 malam
dan kami sudah ingin beranjak pulang namun dihentikan oleh Sisil,
“Eh jangan pulang dulu! bapakku masih beli makan.”
Dengan menahan senyum bahagia dan menggunakan nada bercanda Mirza berkata, “Waduh gausah repot-repot Sil, tau aja kalo lagi laper hahaha.”
Memang
kami semua sangat kelaparan. Bagaimana tidak? Sekolah kami full day school dan setelah pulang sekolah, kami langsung
mempersiapkan diri untuk melakukan pengambilan gambar untuk film pendek.
Sambil menunggu bapak Sisil pulang, kami mengisi waktu
dengan bercerita, ya tentu saja cerita mistis yang pernah kita alami. Menurutku
ini adalah ide yang buruk, karena meskipun aku berani pada awalnya, dengan pancingan cerita-cerita horor, rasa
takutku pun mulai bangkit. Aku terpaksa mendengarkan cerita horror
teman-temanku. ‘Benar-benar penyiksaan’ bisikku dalam hati.
Entah
mengapa saat itu naluri jahilku bergejolak. Aku mengerjai teman-temanku dengan
berpura-pura kesurupan hingga membuat teman-temanku ketakutan. Namun aku tidak
dapat menahan tawaku, akhirnya akting kesurupanku tidak dapat bertahan lama.
Sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan agar teman-temanku tidak
melanjutkan cerita seram mereka.
Salah satu temanku Susi, terlihat kesal denganku. Dia
sedikit memarahiku,
“Nuk, jangan begitu.
Nanti kalo kesurupan beneran gimana?”
Aku yang penakut pun terdiam sambil membayangkan hal itu
terjadi. Keadaan jadi hening sejenak. Susi memecah keheningan dengan cerita horror
lainnya.
“Eh kalian tau tidak? Sebenernya
di jembatan Randumerak, ada penampakan.”
“Penampakan apa sus?”
tanya Ucup.
“Katanya ada yang
melihat penampakan kuda tak berkepala di sana.” Jawab Susi.
‘Lah jembatan Randumerak
kan sejalan dengan rumahku.’ batinku
“Eh? Giman gimana
kejadiannya?” tanya Sisil dengan antusias.
“Waktu itu, sekitar jam
12 malam, tetanggaku pulang kerja. Saat itu jalanan sangat sepi, kalian tahu
sendiri kan di daerah jembatan itu tidak ada rumah-rumah.” Jawab Susi.
“Terus terus?” tanyaku
dengan sedikit takut.
“Terus saat tetanggaku
akan melewati jembatan itu, dia mendengar suara cekikan, dan suara langkah kaki
kuda. Tapi dia tidak melihat ada kuda atau makhluk apapun di depannya.” kata
Susi dengan wajah yang menyeringai jahat.
“Pasti
nanti kudanya tiba-tiba nyebrang jalan kan? Itu cerita klasik Sus.” jawab Mirza
meremehkan.
Kata
Susi, saat tetangganya bercerita, ada telepon masuk jadi ia tidak menyelesaikan
ceritanya. Kami semua pun dibuat penasaran dengan akhir kisah dari hantu kuda
itu. Aku yang penakut pun merasa lega sekaligus
takut dengan apa yang menantiku di jembatan itu saat pulang nanti.
Setelah
makan, tepat jam 10 malam, kami pun langsung pulang ke rumah masing-masing. Di
tengah perjalanan aku terus memikirkan kisah yang diceritakan Susi tadi dan
menyangkal akan adanya hal tersebut. Tapi semakin dekat aku dengan jembatan
itu, aku menjadi was-was.
‘Tapi
sekarang kan masih jam 10, jadi tidak mungkin hantu itu akan keluar pada jam
segini’ batinku saat itu.
Itulah
hal yang kuyakinkan pada diriku walaupun saat itu jalanan sangat sepi dengan tak
ada satupun makhluk hidup yang terlihat. Yang kudengar hanya suara mesin sepeda
motorku dan cerita Susi yang selalu terputar dalam otakku.
Sesampainya
di jembatan itu, aku berusaha menenangkan diri. Kelima panca inderaku tiba-tiba
menjadi sangat peka. Seperti meminta kejadian yang diceritakan Susi benar
terjadi.
Aku
pun mendengar suara cekikikan kuda dan suara sepatu kuda yang menapak pada
aspal. Aku dengan reflek mencari kuda itu di depan mataku. Namun aku tak
menemukan apapun.
‘Ah
mungkin hanya pikiranku saja karena terlalu takut.’
Namun
suara itu terus ada. Setelah aku melihat spion kananku, benarlah aku melihat
seekor kuda tak berkepala sedang mengejarku dengan cepat. Tak banyak pikir aku
langsung tanpcap gas dengan secepat-cepatnya.
“AAAAAAAAHHHHHH!!!!!!!!!!”
teriakku saat itu.
Sesampai
di rumah, aku langsung pergi ke kamar adikku dan tidur bersama dengannya.
Walaupun aku tak dapat tidur karena kejadian barusan masih terngian-ngiang
dalam kepalaku.~