Newest Post

Archive for 2020

 

Beda Alam

Satrio Gustiwisnumurti

Suara alarm berbunyi dengan semangatnya. Membangunkan kelima indra yang perlahan mengaktifkan dirinya. Udara dingin dari hembusan kipas angin mulai terasa. Samar hingga jelas suara alarm terdengar. Lembutnya selimut mulai terasa di permukaan kulit. Mata mulai membuka perlahan.

HOAAAAMMM!!!!

Aku bangun dari tidurku. Pukul 5 pagi, seperti biasa. Menggeliat, seperti biasa. Kurapikan tempat tidur, seperti biasa. Mandi, seperti biasa. Makan di dapur bersama ibu, seperti biasa. Bersiap berangkat kerja, seperti biasa, dan lajang seperti biasa.

Namaku Tejo, pekerja kantoran berusia 27 tahun dengan gaji 7 juta rupiah perbulan yang masih lajang. Aku tinggal berdua bersama ibuku sejak ayahku meninggal 15 tahun yang lalu. Ibuku adalah sosok yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Ibu tidak mau menikah lagi. Ibu bilang dia tidak butuh suami baru, cintanya hanya milik ayah semata. Tak terbayang bagaimana ibuku bekerja sendirian menghidupiku sejak aku berumur 12 tahun. Ibuku adalah seorang buruh di salah satu pabrik rokok di kotaku. Yah, meskipun itu sudah 5 tahun yang lalu. Aku menyuruhnya untuk pensiun karena aku telah memperoleh pekerjaan dengan bayaran yang cukup untuk menghidupi kami berdua. Setidaknya aku ingin ibuku yang telah bekerja keras seorang diri selama 10 tahun lamanya, dapat menikmati masa tua dengan nyaman.

Aku adalah pria yang good looking, punya pekerjaan, dan pintar. Aku rasa aku adalah calon suami idaman semua wanita. Bahkan dengan banyaknya anugerah yang tuhan berikan, aku masih lajang!?

Arrgghhhhhh!!!!

Aku memiliki ketampanan, uang, dan kepintaran yang mana adalah modal penting bagi seorang pria. Tapi satu hal paling penting yang tidak aku miliki adalah pengalaman dalam percintaan. Selama ini aku tidak pernah memikirkan pasangan hidupku kelak. Yang kupikirkan hanyalah kerja, kerja, kerja untuk menghidupi diriku dan ibu. Sekarang, hidup kami bisa dibilang sudah terjamin. Sampai sekarang pun aku masih belum memiliki keinginan untuk menikah.

Pulang dari kantor hari ini aku membawakan nasi gudeg kesukaan ibu. Aku melihat ibu sedang berbincang dengan tetangga kami, ibu Ani di depan teras rumah sambil menikmati secangkir teh. Ya, seperti hari yang lain. Namun ada sedikit perbedaan pada ibu hari ini. Wajahnya yang biasanya selalu riang saat mengobrol, kini sedikit kecut dan menatapku tajam saat aku tiba di depan rumah.

“Wah nak Tejo sudah pulang. Sudah sore ya, kalo begitu ibu pamit pulang dulu, sebentar lagi anak ibu akan datang bersama dengan cucu ibu. Mari nak Tejo, selamat sore.” ucap bu Ani dengan wajah bahagia.

Aku mulai mengerti alasan ibu menatapku dengan tajam.

“Sore bu, Tejo pulang. Sudah lama bu Ani di sini?” tanyaku dengan sedikit takut.

Ibu mengerutkan keningnya, ia seperti akan membunuhku saja.

“Ya, sudah sejak tadi ia di sini.” jawabnya dengan singkat.

Aku pun menanyakan alasan akan tatapan tajam ibu, yah walau aku tau hal apa yang menyebabkan ibu memberikan ekspresi dan tatapan itu padaku.

“Ada apa bu? Mengapa ibu terlihat kesal? Ibu sudah makan? Ini Tejo bawakan-“

“Kapan kamu akan menikah?” basa-basi ku langsung dipotong oleh ibu

Benar saja, langsung dihujam dengan pertanyaan itu lagi? Ya, memang sudah biasa ibu menanyakan hal itu padaku? Tapi entah mengapa ada yang sedikit berbeda dengan caranya menyampaikan pertanyaan tersebut hari ini.

“Eee…. Nanti pasti aku akan menikah kok bu. Ibu tenang saja”

“Selalu saja kamu berkata begitu, entah berapa kali kata itu terucap dari lidahmu, namun tak kunjung juga kamu membawakan ibu calon menantu nak. Mau sampai kapan kau membuat ibu menunggu untuk melihat anak semata wayangnya menikah? Ibu juga selalu kesepian di rumah saat kau tinggal bekerja. Paling tidak berilah ibu seorang cucu yang bisa menemani ibu saat kau sedang tidak di rumah.” Kata ibu dengan sedikit menaikkan nada suaranya.

“Iya bu, secepatnya Tejo akan membawakan ibu calon menantu dan seorang cucu. Lagi pula tidak mudah bagi pria yang tidak memiliki pengalaman percintaan seperti aku untuk menjalin hubungan bu” Jawabku dengan sedikit ragu.

“Pokoknya ibu tidak mau tau! Secepatnya kamu harus membawakan ibu seorang calon menantu! Kamu harus! Bagaimana pun caranya. Jika perlu pergi ke dukun sekalian!” jawab ibu dengan amat kesal, kemudian langsung masuk ke dalam rumah, meninggalkanku terdiam di teras sendirian.

Aku tidak pernah melihat ibu semarah itu sebelumnya. Apakah salah jika aku masih belum memiliki pasangan? Semasa hidupku, aku tidak pernah berpikir untuk menjalin suatu hubungan sebelumnya. Masa sekolahku kugunakan sepenuhnya untuk Surtijar, Surtijar dan Surtijar. Ambisiku untuk sukses benar-benar menutupi keinginan untuk memiliki seorang pasangan. Aku hanya fokus untuk membahagiakan ibuku kelak dengan menjadi orang yang sukses. Maksudku, aku belum pernah menyukai seseorang sebelumnya. Aku jadi tidak tau bagaimana caranya memulai suatu hubungan. Nilaiku nol besar pada bidang ini.

Aku terus memikirkannya semalaman. Jadwal tidurku tak lagi sesuai. Aku terus bertanya-tanya pada diriku, ‘apakah aku benar-benar harus pergi ke dukun?’. Ya, aku memang lebih suka untuk memilih jalan yang lebih mudah jika memang jalan itu ada. Tapi keraguanku selalu muncul di akhir pilihanku. Membuatku memikirkannya sekali lagi. Tepat pada jam 3 pagi, aku membulatkan pilihanku untuk pergi ke dukun saat bangun nanti. Karena besok adalah hari libur, rasanya tak apa untuk bangun sedikit lebih siang.

Keesokan harinya, aku langsung bergegas menuju tempat seorang dukun di desa seSurtih, mbah Mijan. Bukan sekali atau dua kali sudah ada orang yang menyuruhku pergi ke dukun untuk mengatasi permasalahan asmara ini. Beberapa rekan kerjaku sebelumnya pernah menyarankan hal ini, jadi aku tahu beberapa tempat dukun yang cukup terkenal.

***

Sesampainya di sana, aku disambut dengan bau kemenyan dan seorang asisten dukun yang mengarahkanku untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan yang cukup gelap, dengan hiasan keris, jarum dan benda-benda aneh lainnya yang terpampang di dinding ruangan itu. Terlihat seorang pria paruh baya berjenggot putih panjang mengenakan pakaian serba hitam dan sedang duduk di atas sebuah bantal.

“Duduk!” ucap mbah mijan sambil menunjuk bantal yang ada di depannya.

Aku pun mengikuti instruksi dari mbah mijan. Jujur saja, aku merasa sedikit takut dan  terintimidasi dengan suasana, bau kemenyan, serta benda-benda mistis yang memenuhi seisi ruangan.

“Jadi ada urusan apa kamu datang kemari?” tanya mbah Mijan.

“jadi begini mbah, saya-“

“Cukup! Saya sudah tau. Pasti masalah asmara kan?” potong mbah Mijan.

“Eemmm benar mbah, bagaimana mbah bisa tau?” tanya ku dengan berlagak bingung, walaupun sebenarnya sedikit kesal.

“Tentu saja, saya kan dukun. hohoho.” Jawab mbah Mijan sambil tertawa kecil.

Aku pun ikuti tertawa kecil dengan sedikit menarik bibirku ke samping.

“Hehe, iya juga mbah. Jadi bagaimana mbah?”

“Ini saya memiliki benda yang dapat menolongmu. Sebentar, dimana saya menaruhnya?” ucap mbah Mijan sambil mencari-cari sesuatu.

“Nah ini dia.” ucap mbah Mijan sambil menyodorkan sebuah batu kepadaku.

“Ini adalah sebuah batu.” Kata mbah Mijan.

“Iya, saya juga tahu ini adalah batu mbah. Tapi batu apa ini?” tanyaku dengan sedikit kesal.

“Di dalam batu ini ada jin yang dapat membantu kamu menemukan pasangan hidupmu, hohoho” jelas mbah Mijan.

“Tapi bagaimana caranya mbah?”

“Saat sampai di rumah nanti, kamu hanya perlu menggosok batu ini sebanyak tiga kali. Selanjutnya, kamu akan mengerti dengan sendirinya.” ucap mbah Mijan dengan wajah yang meyakinkan.

“Baik mbah, terima kasih banyak atas bantuannya.” aku hendak berdiri namun dihentikan.

“Heh!”

“Kenapa mbah?” tanyaku sedikit kesal.

“Bayarannya!”

“Hehe, maaf saya lupa mbah.”

Ku ambil dompet di saku celanaku, kemudian mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dan meletakkannya di atas nampan yang ada di depanku.

“Ini mbah bayaranny-“

“Heeeeh!”

“Kenapa lagi mbah?” tanyaku kesal.

“Kurang.” Ucap mbah Mijan dengan santainya

Aku tersenyum sinis sesaat. Mengambil selembar uang berwana merah dari dompet sekali lagi, meletakkannya di atas nampan, kemudian bergegas pergi.

“Heyyyy!!!”

“Ada apa lagi sih mbah?” tanyaku benar-benar kesal.

“Kelebih-“

“Sudah untuk mbah saja kembaliannya, saya pergi dulu.”

“Baiklah, terima kasih. Hati-hati di jalan. Hohoho” jawab mbah Mijan dengan senyum yang bersinar di wajahnya.

***

Sesampainya di rumah, aku langsung menggosok batu itu sebanyak tiga kali. Aku juga tidak berharap lebih dengan apa yang akan terjadi. Bukan sulap bukan sihir, *wuuussshh muncul asap tebal di sekitarku.

“Selamat sore tuan, ada yang bisa saya bantu?” ucap seorang gadis cantik  yang berpakaian seperti putri Yasmin dalam cerita dongeng Aladin. Bedanya, yang satu ini jauh lebih cantik dari putri Yasmin. Benar-benar kejadian yang tidak pernah ku alami, bahkan tak sedikitpun terpikiran olehku hal ini terjadi. Aku terdiam, kaget, dan tiba-tiba pingsan.

“Tuan? Ada tidak apa-apa?”

Suara itu membangunkanku.

“Syukurlah tuan baik-baik saja. Tapi-“

“Diam! Biarkan aku berpikir sejenak.” ucapku sambil mencoba menenangkan diri.

Entah berapa kali aku menarik nafas dengan dalam dan mencoba mengatur otakku untuk menganggap hal yang baru saja terjadi adalah hal biasa.

“Baiklah, perkenalkan namaku Tejo. Aku butuh bantuanmu.” ucapku dengan tenang.

“Aku adalah jin yang tuan panggil. Tuan bisa memanggilku apa saja. Jadi bantuan apa yang tuan butuhkan?” tanya jin itu.

“Baiklah, kau akan kupanggil jin saja. Aku ingin kamu membantuku untuk mendapatkan pasangan!” jawabku.

“Waaahhh masalah asmara ya, tenang saja tuan. Kalo soal asmara, itu adalah keahlian saya. Tuan pasti akan segera mendapatkan pasangan tuan.” jawab Jin dengan heboh dan raut wajah bangga.

Entah mengapa dia begitu semangat untuk membantuku dalam hal ini. Setelah itu, ia menanyakan alasanku ingin mencari pasangan. Aku pun menceritakan kisahku padanya. Cukup aneh, sebelumnya aku tidak pernah berbicara santai seperti ini pada seorang wanita. Mungkin karena dia bukan wanita, ya dia kan Jin. Cukup lama aku bercerita, tak terasa sudah malam.

“Ya begitulah, aku juga sebenarnya terpaksa melakukan ini.” ucapku.

“Tapi apa sebelumnya tuan sudah menentukan target dari pasangan tuan?” tanya Jin.

“Tidak, belum. Nih!” ucapku sambil melemparkan telepon genggamku padanya.

“Kamu bisa memakai telepon kan? Kamu cari saja di sana! Pilihlah sesukamu. Aku mau tidur dulu. Kita lanjutkan besok.” Ucapku santai, kemudian beranjak dari ruang tamu menuju kamar.

“Baik tuan, tuan tenang saja. Saya pastikan besok kita sudah bisa memulai untuk mendapatkan pasangan untuk tuan. Selamat istirahat tuan.” Jawab Jin.

Keesokan harinya, aku bersiap pergi kerja seperti biasa. Setelah makan, aku mengusap batu jin lagi untuk bertemu dengan Jin. *wuuuussshhhh Jin langsung muncul.

“Bagaimana? Apa kamu sudah menemukan target yang pas untukku?” tanyaku padanya.

“Sudah tuan, dia adalah teman sekantor tuan. Namanya adalah Surti.” jawabnya.

“Ahh Surti, dia anggota timku. Hmmm tidak buruk. Kalo begitu aku berangkat kerja dulu.” ucapku.

Aku bergerak menuju pintu, Jin mengikuti.

“Hei! Kau mau kemana?” tanyaku bingung.

“Tentu saja menemani tuan.” jawabnya bingung.

Kelihatannya dia tidak mengerti dengan apa yang ku maksud. Maksudku, bagaimana jika orang-orang melihat seorang wanita berpakaian bak tokoh di negeri dongeng di jalanan? Belum sempat kuutarakan, nampaknya dia sudah bisa membaca pikiranku.

“Ahh, jika tuan takut saya terlihat oleh orang lain, tuan tidak perlu khawatir. Hanya tuan saja yang dapat melihat wujud saya. Lagi pula, bagaimana saya bisa mengarahkan tuan untuk mendekati Surti jika saya tidak bersama tuan?” tambahnya.

“Jadi seperti itu, benar juga.” jawabku.

“Tejo! Apa ada orang lain di sana? Dengan siapa kau berbicara?” teriak ibu dari dapur.

“Tidak ada bu, aku hanya berbicara sendiri.” teriakku agar ibu bisa mendengarnya.

“Baiklah jika begitu. Ayo berangkat!” ucapku dengan pelan sambil membuka pintu.

***

Sesampainya di kantor, Jin langsung mengarahkanku untuk mendekati Surti. Mulai dari menyapa, mencari topik obrolan, mengajak makan siang, memberi bantuan kecil, hingga hal-hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Cara Jin mengarahkanku sangat efektif. Aku dapat dengan mudah melakukannya tanpa membuat kesalahan. Arahannya begitu jelas seperti dia benar-benar berpengalaman dengan hal semacam ini. Hari-hari ku di kantor mulai berubah sejak saat itu. Hari yang biasanya monoton, mulai timbul naik turun di dalamnya.

Sepulang dari kantor, kami selalu mendiskusikan rencana selanjutnya untuk mendapatkan hati Surti. Entah mengapa aku dapat akrab dengan Jin begitu cepat. Tak jarang pula aku membahas hal-hal di luar rencana. Aku benar-benar dapat mengungkapkan segalanya pada Jin. Mulai dari hal-hal yang selalu aku pendam, hingga hal-hal kecil yang sebenarnya tak begitu penting. Bisa dibilang, Jin sudah menjadi tempatku berkeluh kesah.

Beberapa minggu kemudian, hasil dari kerja keras kami terbayarkan. Aku mencoba untuk menyatakan perasaanku kepada Surti secara langsung. Alhasil, ia menerima perasaanku dan mulai menjalin hubungan denganku. Namun, sejak saat itu Jin mulai jarang bersuara. Seakan ia membuat batas denganku. Tapi aku tak ambil pusing, aku tetap menjalani hari-hariku bersama Surti. Hingga suatu malam, Jin bertingkah aneh.

“Tuan, apakah tuan benar-benar nyaman dengan Surti?” tanya Jin.

“Ya, tentu saja. Ini kan memang tujuanku dari awal.” jawabku.

“Apa tuan tidak bisa akhiri saja tuan dengannya?” tanya Jin.

Mendengarnya, aku naik pitam. Benar saja, aku sudah mencapai tujuanku. Tetapi dia malah ingin aku membuangnya begitu saja. Bukan hal yang mudah untuk samapi di sini. Ya walaupun ini juga dengan bantuannya. Tapi ini adalah tujuan ku dari awal.

“Maksud kamu apa!? Kamu ini bagaimana!? Ini tujuan kita dari awal. Ya kan? Untuk membuatku mendapatkan pasangan. Dan itu sudah terwujud. Lantas mengapa kamu ingin aku menghancurkan usaha kita begitu saja?” jawabku dengan marah yang luar biasa.

“Bukan begitu tuan, maksud saya… entah mengapa saya tidak suka dengan hal ini.” jelasnya sambil menitihkan air mata.

“Jika kamu tidak suka, lebih baik kamu pergi saja dari sini!” bentakku.

Kemudian, aku meninggalkannya di ruang tamu dan pergi ke kamar. Jin diam saja, terpaku berdiri di sana. Aku tidak peduli, ku ambil selimut dan segera menuju ke pulau kapuk.

Keesokan harinya, aku membuat secangkir kopi di pagi hari. Ibuku sedang tidak ada di rumah. Ia pergi ke rumah nenek karena suatu hal. Kira-kira sudah hampir seminggu lamanya. Aku tidak bisa ikut karena harus pergi kerja. Hari libur ini bisa dibilang rumah cukup sepi tanpa adanya ibu. Aku rasa semalam aku terlalu keras pada jin. Aku harus minta maaf padanya. Aku terlalu terbawa emosi.

“Jin? Jin?” panggilku.

Tak seperti biasanya, ia tidak langsung datang setelah kupanggil. Ah mungkin aku perlu menggosok batu jin lagi. Aku mengambil batu itu di dalam laci lemariku. Kemudian menggosoknya sebanyak tiga kali. Tetapi, tidak terjadi apa-apa. Asap tidak lagi muncul dari batu itu. Entah berapa kali aku mencoba menggosok batu itu, tetapi tak ada yang berubah.

Mengapa aku jadi gelisah? Toh aku sudah mendapatkan pasangan yang aku perlukan. Jadi seharusnya tidak ada Jin ya tidak ada salahnya juga. Tujuan sudah tercapai. Tugasnya mungkin sudah selesai. Namun setidaknya pamit dulu lah jika akan pergi. Jangan membuatku kepikiran. Rasanya ada hal yang tak biasa. Aku merasakan perbedaan dengan tak adanya Jin di sini. Teman mengobrolku, teman berkeluh kesahku, teman bermainku. Ahhh aku jadi gila dibuatnya. Belum sampai setengah hari, aku jadi benar-benar gelisah. Ada yang kurang tanpa Jin di sini. Kepalaku tertekan. Apa yang terjadi padaku?

Terbesit suatu jalan keluar di benakku. Ya, orang yang mengerti dengan hal seperti ini mungkin mbah Mijan. Aku harus segera pergi padanya dan menanyakan tentang hal ini. Aku tidak mau menunggu terlalu lama. Sakit kepala ini membunuhku dengan perlahan. Tanpa menunggu lama, aku langsung menyiapkan kendaraan dan bergegas pergi ke tempat mbah Mijan.

Sesampainya di sana, aku langsung menuju ruangan mbah Mijan.

“Mbah, sepertinya batu yang dulu mbah berikan rusak. Apa mbah bisa memperbaikinya?” tanyaku sambil menyodorkan batu.

Mbah Mijan membolak-balikkan batu itu. Mencari-cari letak kerusakan yang aku katakan sebelumnya. Hingga akhirnya mbah Mijan berhenti dan mengambil nafas dalam-dalam.

“Jadi kamu mengusir jin yang tinggal di batu ini?”  tanya mbah Mijan dengan nada kecewa.

“Eee… saat itu saya sedang emosi mbah, jadi tidak sengaja mengusirnya. T-tapi saya tidak ada niat untuk-“

“Tetap saja. Kamu mengusirnya.” potong mbah Mijan.

“Saya tahu saya salah mbah. Tolong kembalikan jin itu lagi mbah. Saya mohon.” pintaku dengan mata berkaca-kaca.

“Maaf, yang satu ini saya tidak bisa bantu. Jika seorang majikan sudah mengusir jinnya, jin itu akan benar-benar kehilangan kontak dengan majikannya. Bahkan mungkin kamu sudah tidak ada lagi dalam penglihatannya.” tegas mbah Mijan.

“Saya mohon tolong saya mbah. Untuk biayanya tidak jadi masalah mbah. Mbah mau berapa? Satu juta? Dua juta? Sepuluh juta? Berapapun akan saya bayar mbah. Tolong mbah.” Pintaku putus asa.

“Dasar bocah tak tahu diri. Kamu pikir segala sesuatu bisa dibeli dengan uang? Ini semua kesalahan kamu sendiri. Sekarang kamu pergi dari sini! Saya tidak ingin melihat muka kamu lagi.” bentak mbah Mijan padaku sambil menunjuk pintu keluar.

***

Sepulangnya dari tempat mbah Mijan, aku merasa tak berdaya. Tak memiliki keinginan untuk hidup. Pikiranku kacau, hanya ada Jin di dalamnya. Aku stres. Dua hari aku tak pulang ke rumah. Dua hari aku tak bekerja. Aku tidur di jalanan, minum minuman keras, membuat masalah dengan orang sekitar, dan masih banyak lagi.

Suatu waktu, aku berjalan di taman dekat kantorku. Aku melihat sekumpulan anak muda sedang bermain. Entah mengapa, aku yang mabuk langsung menyerang mereka. Pukulan demi pukulan mendarat di wajah dan badanku. Aku tak berdaya dikeroyok 3 orang laki-laki. Setelahnya, aku ditinggal dengan keadaan lemas dan terkapar di taman. Memar dan luka lain terpatri di tubuhku. Hingga datang seorang wanita yang kukenal akhir-akhir ini. Ia menghampiriku dengan cepat dan mengambil sapu tangan di tas tangannya, kemudian mengusap darah yang mengalir dari lukaku.

“Ya ampun Tejo! Kamu kenapa?” ucapnya.

Ia adalah Surti, kekasihku. Surti terlihat benar-benar khawatir. Kebetulan sekali bertemu dengannya  dengan keadaanku yang mengenaskan seperti ini. Jujur aku senang dapat bertemu dengannya.

“Sudah tiga hari kamu tidak ada kabar. Aku sungguh khawatir. Apa yang terjadi padamu? Dari mana luka-luka ini berasal? Ada apa?” beragam pertanyaan mendarat padaku.

Aku senang dengan banyaknya pertanyaan yang ia lontarkan. Ingin kujawab, namun di satu sisi aku takut Surti akan murka jika mendengarnya. Aku terus mencoba meyakinkan diriku untuk lebih membuka diri pada surti. Berharap ia dapat mengerti keadaanku. Kemudian, aku mulai menceritakan kisahku padanya. Tentang aku yang depresi ketika ditinggalkan oleh makhluk yang bukan manusia. Dia pasti akan menertawakanku atau bahkan jijik padaku. Namun, ternyata tidak begitu.

“Sudah, tidak apa Tejo. Tetapi kamu seharusnya tidak melibatkan perasaan pada sesuatu yang bukan berasal dari alam kita. Lagian kamu tidak harus menanggung semua itu sendiri. Kan ada aku, kamu bisa membagi bebanmu denganku. Bukan dengan cara brutal seperti ini…”

Omelannya terus berlanjut dengan samar. Ku tatap wajahnya, berpikir bagaimana bisa Surti yang ada di depan mataku terkalahkan oleh sosok Jin sebelumnya. Aku pasti gila berpikir bahwa aku bisa menjalin hubungan dengan makhluk gaib. Entah sudah berapa menit ia menceramahiku. Namun aku tidak merasa kesal sama sekali. Justru aku senang jika diceramahi seperti ini. Hal yang belum pernah terjadi di hidupku. Cara bagaimana ia menunjukkan kekhawatiran dan kepeduliannya terhadapaku, oh tuhan, sungguh aku telah menyia-nyiakan karuniamu yang begitu indah.

Suara Surti mulai terdengar kembali.

“…lagian mengapa harus dengan cara seperti ini? Dasar, aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran laki-laki. Ya sudah kita kembali ke rumahku saja dulu. Kita obati lukamu di sana. Ayo….hey! ayo! Tejo! Kamu dengar tidak? Kok melamun sih. Ada apa?”

Aku langsung terfokus kembali pada omongan Surti. Sambil menatap matanya, aku berkata.

“Eee… tidak apa. Hanya saja, aku sangat bersyukur pada tuhan. Kini aku telah menemukan orang yang tepat untuk menjadi teman hidupku.”

 

TAMAT

  

 

 

Beda Alam

Rabu, 30 Desember 2020

 

Hantu Kuda Jembata Randumerak

Satrio Gustiwisnumurti

Namaku Inuk, aku ingin sedikit berbagi cerita yang menurutku cukup menyeramkan. Malam itu aku baru saja selesai shooting untuk  lomba film pendek di SMA ku bersama 4 orang temanku, Sisil, Susi, Mirza, dan Ucup. Kami melakukan pengambilan gambar di rumah Sisil sepulang sekolah. Pengambilan gambar selesai jam 9 malam dan kami sudah ingin beranjak pulang namun dihentikan oleh Sisil,

“Eh jangan pulang dulu! bapakku masih beli makan.”

Dengan menahan senyum bahagia dan menggunakan nada bercanda Mirza berkata, “Waduh gausah repot-repot Sil, tau aja kalo lagi laper hahaha.”

Memang kami semua sangat kelaparan. Bagaimana tidak? Sekolah kami full day school dan setelah pulang sekolah, kami langsung mempersiapkan diri untuk melakukan pengambilan gambar untuk film pendek.

            Sambil menunggu bapak Sisil pulang, kami mengisi waktu dengan bercerita, ya tentu saja cerita mistis yang pernah kita alami. Menurutku ini adalah ide yang buruk, karena meskipun aku berani pada awalnya,  dengan pancingan cerita-cerita horor, rasa takutku pun mulai bangkit. Aku terpaksa mendengarkan cerita horror teman-temanku. ‘Benar-benar penyiksaan’ bisikku dalam hati.

Entah mengapa saat itu naluri jahilku bergejolak. Aku mengerjai teman-temanku dengan berpura-pura kesurupan hingga membuat teman-temanku ketakutan. Namun aku tidak dapat menahan tawaku, akhirnya akting kesurupanku tidak dapat bertahan lama. Sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan agar teman-temanku tidak melanjutkan cerita seram mereka.

            Salah satu temanku Susi, terlihat kesal denganku. Dia sedikit memarahiku,

        “Nuk, jangan begitu. Nanti kalo kesurupan beneran gimana?”

            Aku yang penakut pun terdiam sambil membayangkan hal itu terjadi. Keadaan jadi hening sejenak. Susi memecah keheningan dengan cerita horror lainnya.

        “Eh kalian tau tidak? Sebenernya di jembatan Randumerak, ada penampakan.”

        “Penampakan apa sus?” tanya Ucup.

        “Katanya ada yang melihat penampakan kuda tak berkepala di sana.” Jawab Susi.

        ‘Lah jembatan Randumerak kan sejalan dengan rumahku.’ batinku

        “Eh? Giman gimana kejadiannya?” tanya Sisil dengan antusias.  

        “Waktu itu, sekitar jam 12 malam, tetanggaku pulang kerja. Saat itu jalanan sangat sepi, kalian tahu sendiri kan di daerah jembatan itu tidak ada rumah-rumah.” Jawab Susi.

        “Terus terus?” tanyaku dengan sedikit takut.

        “Terus saat tetanggaku akan melewati jembatan itu, dia mendengar suara cekikan, dan suara langkah kaki kuda. Tapi dia tidak melihat ada kuda atau makhluk apapun di depannya.” kata Susi dengan wajah yang menyeringai jahat.

“Pasti nanti kudanya tiba-tiba nyebrang jalan kan? Itu cerita klasik Sus.” jawab Mirza meremehkan.

        Kata Susi, saat tetangganya bercerita, ada telepon masuk jadi ia tidak menyelesaikan ceritanya. Kami semua pun dibuat penasaran dengan akhir kisah dari hantu kuda itu.  Aku yang penakut pun merasa lega sekaligus takut dengan apa yang menantiku di jembatan itu saat pulang nanti.

        Setelah makan, tepat jam 10 malam, kami pun langsung pulang ke rumah masing-masing. Di tengah perjalanan aku terus memikirkan kisah yang diceritakan Susi tadi dan menyangkal akan adanya hal tersebut. Tapi semakin dekat aku dengan jembatan itu, aku menjadi was-was.

‘Tapi sekarang kan masih jam 10, jadi tidak mungkin hantu itu akan keluar pada jam segini’ batinku saat itu.

        Itulah hal yang kuyakinkan pada diriku walaupun saat itu jalanan sangat sepi dengan tak ada satupun makhluk hidup yang terlihat. Yang kudengar hanya suara mesin sepeda motorku dan cerita Susi yang selalu terputar dalam otakku.

        Sesampainya di jembatan itu, aku berusaha menenangkan diri. Kelima panca inderaku tiba-tiba menjadi sangat peka. Seperti meminta kejadian yang diceritakan Susi benar terjadi.

        Aku pun mendengar suara cekikikan kuda dan suara sepatu kuda yang menapak pada aspal. Aku dengan reflek mencari kuda itu di depan mataku. Namun aku tak menemukan apapun.

‘Ah mungkin hanya pikiranku saja karena terlalu takut.’

        Namun suara itu terus ada. Setelah aku melihat spion kananku, benarlah aku melihat seekor kuda tak berkepala sedang mengejarku dengan cepat. Tak banyak pikir aku langsung tanpcap gas dengan secepat-cepatnya.

        “AAAAAAAAHHHHHH!!!!!!!!!!” teriakku saat itu.

        Sesampai di rumah, aku langsung pergi ke kamar adikku dan tidur bersama dengannya. Walaupun aku tak dapat tidur karena kejadian barusan masih terngian-ngiang dalam kepalaku.~

Hantu Kuda Jembata Randumerak

Minggu, 20 Desember 2020

// Copyright © Inukazet //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //